Minggu, 02 Oktober 2011

Episode Cinta yang Tak Pernah Ada

Solo Kemringet, medio 1987
Aku memperlambat langkah. Sesekali menghentikan ayunan kakiku, pura-pura memperbaiki tali sepatu yang tidak kenapa-napa. Bukan tanpa tujuan. Saat jongkok, dengan kesan alami aku bisa mencuri pandang ke arah dia, jejaka tanggung itu, yang juga berjalan kaki bersama 4 kawan kami. Mereka berjarak sekitar 15 meter dari tempatku.
Ahai , makin hari dia makin menawan saja. Terik panas matahari siang itu seakan kalah gagah dibanding postur tubuhnya. Seragam putih-birunya selalu rapi dan bersih. Bahkan kalau pagi menyebarkan bau wangi dari cairan pelembut cucian atau pelicin seterikaan. Rambutnya ikal, jadi tak gampang bergoyang diterpa angin.
Dia tampak paling menyolok dibanding teman-teman segerombolan yang berjalan bersamanya. Tak tahu benar apa yang sedang mereka bahas. Sesekali mereka terbahak-bahak. Apakah mereka sedang membicarakan aku? Haisshh.. jangan ge -er, nona…
Aku makin memperlambat langkah, agar –lagi-lagi dengan kesan alami- aku bisa bergabung dengan gerombolan itu. Kurapikan seragam dan rambutku. Aku tak mau dia melihatku berantakan. Sejurus kemudian, aku sudah sejajar dengan mereka. Sengaja kulempar senyum paling manis hari itu, semacam izin tak resmi untuk bergabung dengan mereka. Maka di  sisa perjalanan pulang sekolah itu, aku bisa menatapnya lama-lama, dan itu sudah cukup.
Akhirnya tiba pula saat yang kunantikan. Tiga kawan akhirnya belok kanan dan kiri, sementara kami berdua berjalan  terus, lurus, menuju arah rumah kami. Situasi seperti ini sunggu membuat jantung deg degan.  Untung tidak ada riwayat penyakit jantung di keluarga kami.
Kami terus berjalan tanpa bicara sedikit pun. Aku sendiri tak tahu harus bicara apa. Uuuuh… nervous sekali diriku, sehingga tak bisa memikirkan tema apa sebaiknya yang kami bicarakan. Dia juga tak mengajak bicara sih…, entah apa yang ada di pikirannya. Sukakah dia berjalan bareng sama aku? Entahlah… aku tak tahu. Yang jelas terselip perasaan senang dan bangga berjalan di sisinya. Aku berharap rumah kami lebih jauh, agar aku bisa lebih lama dekat dengannya.
Sampailah akhirnya  di rumahku. Tiba saatnya aku berpisah dengannya. Huh, aku tidak suka situasi ini.
“Sudah sampai.. hehe,” ucapku serak, sambil menoleh padanya. Dia balik menatap. Duh sorot matanya itu… mungkin bisa meruntuhkan Tembok Besar China!
“Ya. Aku meneruskan perjalanan ya… ,” ujarnya.
Jangaannnnn! Pleaseee…. berdirilah saja di situ agar aku bisa memandangmu terus, jerit hati kecilku.
Tapi, “Oke, sampai ketemu besok,” pernyataan ini yang keluar dari bibirku.
Dia pun berlalu. Dan aku pura-pura membuka pintu pagar rumah. Namun aku memperlama gerakanku, dengan mata terus menatap ke arah punggung yang indah itu. Dia berjalan dengan tegap, namun wajah sedikit menunduk. Aku terus menatapnya. Hingga  sosok itu hilang di belokan jalan.

***
…Rasa gelisah dimana kamu
Aku melirik ke bangku samping
Rupanya kau sedang tersenyum manis
Membuat aku tersipu
Kutunggu kamu di gerbang sekolah
Maukah kamu mengantarku pulang
Aduh senangnya jalan kaki
Bersama kamu lala.. lala…
Bersama kamu lala.. lala..


Hmm…. lagu yang dipopulerkan Tommy Sumarni & Co itu seakan terus menggema di kupingku pada jam istirahat. Syairnya sesuai sungguh dengan situasi yang kualami hari ini. Mataku tertuju ke papan tulis, berlagak menyalin tulisan guru, padahal sebenarnya aku hanya berakting. Sedangkan pikiran melayang ke bangku belakang. Tempat si jejaka tanggung itu duduk.
Aku berharap suatu hari dia duduk di bangku sampingku, agar aku tak harus membalikkan wajah bila ingin memandangnya. Tapi mana mungkin? Postur tubuhnya terlalu bongsor untuk anak seusianya, dan sebagai anak yang tahu diri, dia pun memilih duduk di deretan paling belakang.  Ya sudahlah…
Anyway.. pasti asyik juga kalau bisa selalu pulang bareng dengan dia. Maka akupun berdoa semoga hari ini bisa kembali punya kesempatan pulang bareng dia. Jalan bersama, melangkah pelan biar tidak segera sampai di rumah.. Oh indahnya… Oh senangnya.. Tralalaaa…
Apakah ini cinta? Aku tak tahu. Aku masih terlalu kecil untuk memastikan ini cinta atau bukan. Dan rasanya belum pantas anak SMP mengenal cinta. Entahlah…. Namun apa yang perasaan ini belum pernah kurasakan sebelumnya. Aku ingin selalu ada di dekatnya, walau bila sudah benar-benar di dekatnya aku akan diserang grogi yang hebat. Aku ingin malam cepat berlalu, pagi segera menjelang, berangkat ke sekolah, untuk bisa melihatnya lagi. Dan menunggu-nunggu kejutan yang menyengkan, bila dia melempar senyum kepadaku. Ohhh… bila semua ini bukan cinta, mengapa begitu indah dan dalam..
“Hai, boleh pinjam catatan pelajaran yang barusan?” tiba-tiba cowok yang sedang kupikirkan sudah ada di dekatku. Bahkan dekat sendiri. Seketika jantungku berdetak dengan frekuensi limapuluh persen lebih cepat.
Nada suaranya lembut, namun seakan geledek menyambar kupingku. Aku kaget sekali, dan salah tingkah dibuatnya.
“Oh, eehhh…. tentu saja,” ujarku sambil tersenyum di antara kaget.
Akupun menyerahkan buku catatanku  kepadanya. “Makasih ya… besok aku kembalikan,” balasnya sambil mengerling nakal.  Aw Aw… tampannya dia kalau sedang begitu….
“Okay deh…,” kataku sembari tersenyum, berakting sewajar mungkin, dan pura-pura sibuk memasukkan buku ke tas.Kurasa dia menatapkan agak lama sebelum kemudian berbalik ke bangkunya. Oooh, aku tak berani balas menatap agar tidak pingsan.
***
Solo, akhir 1990
Aku terpaku di halaman sekolah yang sangat luas ini. Begitu banyak siswa yang lalu lalang –sebagian besar bernilai 8-9 untuk skala 1 sd 10 bila ada penilaian dari bentuk fisik– namun tak mampu mengusir perasaan sepi yang kurasakan. Aku kesepian di pelukan keramaian yang ada.
Kusandarkan pundak di pohon akasia yang ada di sebelah kantor guru. Aku sengaja menarik diri dari ajakan teman-teman untuk berpesta merayakan kemenangan kelas kami pada lomba kebersihan antar kelas. Aku ingin menikmati kesepian ini.
Setahun berlalu sejak lulus dari sekolah menengah pertama itu, belum juga kurasakan passion sekolah yang baru. Sekolah yang berlokasi di kota dan dicap sekolahnya orang borjuis  ini tak kunjung menarik hatiku. Hatiku seakan tertinggal di SMP yang kutinggalkan. Aku kangen teman-temanku yang polos dan lucu-lucu. Kangen sama si jejaka tanggung…
Ah, apa kabar dia kiranya? Apakah dia masih seperti dulu? Kangen jugakah dia padaku? Kenapa dia harus diterima di sana dan aku di sekolah yang asing ini? Kenapa kami tidak satu sekolah di sini saja? Kenapa? Kenapa???????????????
Setiap hari, deretan surat ditempel di depan ruang Guru BP. Aku berharap, suatu saat ada surat untukku darinya. Namun itu tak jua terjadi. Harapanku adalah harapan kosong, sia-sia belaka. Mau memulai berkirim surat untuk sekadar menanyakan kabarnya, namun berhenti pada keinginan. Aku merasa itu tak sopan. Aku juga tak ingin menanggung risiko kecewa. Iya kalau dia berkenan menerima, membaca dan membalas suratku. Bila tidak? Bisa juga kan dia malah beranggapan aku cewek murahan?
Ah, mungkin memang waktunya aku membunuh semua perasaan itu. Meredam harapan, merelakan semua, menyerahkan nasib pada takdir. Takdir yang telah membuat kami berjauhan. Takdir yang menyisakan luka.
Luka  badan, dokter bisa mengatasi, namun luka hati, hanya waktu yang menyembuhkan, begitu kata orang bijak. Dan aku percaya itu. Suatu ketika kelasku mewakili sekolah kami ikut upacara di lapangan kota, dengan inspektur upacara Walikota. Aku melihatnya terselip di antara kerumunan rombongan sekolahnya. Tak ada senyum, tak ada sapa, dan kukiran dia tak melihatku. Namun aku melihatnya dengan jelas, dengan menanggung perasaan yang aku tak mengerti. Perasaan yang membebani, namun tak seberat dulu, walau cukup untuk membuat tidurku tak nyenyak hari itu.
Dan rasa itupun hampir benar-benar mati, ketika suatu hari aku melihatnya di sela-sela penunggu di halte tempat aku biasa menghadang bus untuk pulang kampung. Ya Tuhanku, benarkah itu dia? Ya, ternyata itu memang dia. Potongan rambutnya berbeda. Tak lagi terlihat ikal karena dipotong pendek sekali. Dia masih mempesona. Lebih kurus, namun tertutup oleh pakaian terutama celana panjang abu-abu yang membuatnya lebih terlihat berbeda lagi.
Rasa frustrasi sangat menolong agenda meredamsi  perasaan kepada jejaka tanggung nan ganteng. Ketika aku tak lagi terlalu berharap, justru kami ditakdirkan berada di bus yang sama. Tanpa beban, kusapa dia lebih dulu. “Hai, apa kabar?”
Tampaknya dia benar-benar baru menyadari kehadiranku. “Kabar baik. Kamu?”
“Alhamdulillah.”
“Senang di sekolah baru? Sekarang tinggal dimana?” dia balik bertanya.
“Yach, begitulah…., sama nenek. Kamu?”  aku ngeles, tak ingin mengatakan hal sebenarnya, bahwa ada sedikit sesal menempuh pendidikan di sekolah baruku.
“Yah, biasa aja, aku bolak-balik dari rumah kok,” ucap dia. “Gimana kabar teman-teman lain?” sambungnya.
“Aku tak terlalu banyak tahu… tapi kukira mereka lebih beruntung karena tidak seperti aku, sendirian di tempat baru…,” akhirnya keluar juga curhat colongan dari mulutku.
Lalu suasana lebih cair, dan kami berbicara lebih banyak. Lebih asyik, hingga bus berhenti di halte kota tempat tinggal kami. Dan kami pun melakukan reuni nostalgis, sambil bercerita, menyusuri sepanjang jalan kenangan, di mana kami pernah melakukan hal yang sama saat SMP. Seperti dulu, kami berpisah di depan gerbang rumahku. Dan seperti dulu juga, aku terus memandangi hingga bayangannya hilang di tikungan.
Perasaan itu masih ada, namun kini terasa agak berbeda. Sekarang terasa lebih ringan beban ini, karena aku tak lagi mengharapkan apa-apa darinya. Ringan, namun hampa.